Jumat, 07 Juli 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT THOMAS HOBBES

Hakekat Manusia Menurut Thomas Hobbes

Thomas Hobbes
Thomas Hobbes dari Malmesbury (lahir di Malmesbury, WiltshireInggris5 April 1588 – meninggal di DerbyshireInggris4 Desember 1679 pada umur 91 tahun) adalah seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme. Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme, serta pandangan tentang hubungan manusia dengan sistem negara.Hobbes memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang kajian moral di Inggris serta filsafat politik, khususnya melalui bukunya yang amat terkenal "Leviathan". Hobbes tidak hanya terkenal di Inggris tetapi juga di Eropa Daratan. Selain dikenal sebagai filsuf, Hobbes juga terkenal sebagai ahlimatematika dan sarjana klasik. Ia pernah menjadi guru matematika Charles II serta menerbitkan terjemahan Illiad dan Odyssey karya Homeros. 

Pada tahun 1603-1608, Hobbes belajar di Magdalen Hall, Oxford pada usia 14 tahun. Menurut kesaksian pribadi Hobbes, ia tidak menyukai pelajaran fisika danlogika Aristoteles. Ia lebih suka membaca mengenai eksplorasi terhadap penemuan tanah-tanah baru serta mempelajari peta-peta bumi dan bintang-bintang. Karena itulah, astronomi adalah bidang sains yang mendapat perhatian dari Hobbes, dan terus digeluti oleh Hobbes. Kemudian pada masa kemudian, Hobbes juga menyesali karena ia tidak mempelajari matematika saat menempuh pendidikan di Oxford. Thomas Hobbes (1588-1679) dilahirkan di Malmesbury, sebuah kota kecil yang berjarak 25 kilometer dari London. Ia dilahirkan pada tanggal 15 April 1588. Ketika Hobbes dilahirkan, armada Spanyol sedang menyerbu Inggris. Ayah Hobbes adalah seorang pendeta di Westport, bagian dari Malmesbury. Ayahnya bermasalah dengan pihak gereja sehingga melarikan diri dari kota tersebut dan meninggalkan Hobbes untuk diasuh oleh pamannya.Setelah menempuh pendidikan, Hobbes mendapat pekerjaan sebagai pengajar keluargabangsawan, yakni keluarga Cavendish. Murid Hobbes adalah William Cavendish yang merupakan pewaris keluarga tersebut. Selain sebagai guru, Hobbes juga berperan sebagai sekretaris, teman, dan bendahara dari William Cavendish.
William Cavendish meninggal pada tahun 1628, dan saat itu Hobbes telah menyelesaikan terjemahan dari Thucydides. Karya Hobbes tersebut merupakan karya ilmiah yang berharga sebab merupakan karya pertama yang merupakan terjemahan bahasa Inggris langsung dari bahasa Yunani. Selain itu, di dalamnya terdapat peta dari dunia Yunani kuno yang dikumpulkan dari banyak sumber dan digambar oleh Hobbes sendiri. Di dalam karya tersebut, Hobbes memperlihatkan sikapnya yang pro terhadap monarki Inggris dan tidak begitu menyukai sistem demokrasi. Di dalam oto-biografinya, Hobbes mengatakan bahwa Thucydides adalah sejarawan favoritnya sebab "ia memperlihatkan betapa tidak kompetennya sistem demokrasi".Setelah kematian William, Hobbes berhenti dari pekerjaannya di keluarga Cavendish selama dua tahun. Pada waktu tersebut. ia bekerja lagi sebagai guru dari anak bangsawan. Pada tahun 1629 hingga 1630, Hobbes dan muridnya melakukan perjalanan ke Perancis dan Swiss. Di Jenewa, selama bulan April hingga Juni tahun 1630, Hobbes mulai membaca buku Eukleides yang berjudul "Elemen-Elemen" dan tertarik atas metode deduktif Eukleides.Setelah kembali ke Inggris, pada tahun 1631, Hobbes kembali bekerja pada keluarga Cavendish untuk menjadi guru dari anak William. Pada waktu inilah, Hobbes menghabiskan waktu untuk mempelajari matematika dan bidang-bidang sains lainnya.Periode 1630-an adalah tahun-tahun yang penting di dalam perkembangan intelektual Hobbes. Di periode inilah perhatian Hobbes terhadap sains, khususnya optik, mulai berkembang. Selain itu, pemikiran filsafat politik Hobbes juga mulai berkembang, sebagaimana terlihat dari buku "Elemen-Elemen Hukum" yang dikeluarkannya pada akhir dekade 1630-an.
Pada tahun 1634, Hobbes dan muridnya kembali melakukan perjalanan ke Eropa Daratan, yakni Perancis dan Italia. Perjalanan tersebut memberi pengaruh besar terhadap perkembangan intelektual Hobbes sebab ia berkenalan dengan ilmuwan dan matematikawan dari Perancis. Di dalam oto-biografinya, Hobbes mengatakan bahwa ia telah mempelajari prinsip-prinsip dari ilmu alam di Perancis.Setelah Hobbes kembali ke Inggris pada bulan Oktober 1636, ia banyak menggunakan waktunya untuk karya-karya filsafat. Hal tersebut dikarenakan muridnya sudah mulai dewasa sehingga Hobbes memiliki banyak waktu luang. Salah satu karya sains-filsafat Hobbes yang paling awal adalah sebuah manuskrip tentang optik yang berjudul "Latin Optical MS". Karya tersebut telah selesai dikerjakan pada tahun 1640. Hobbes juga menulis manuskrip lain tentang metafisika danepistemologi.Pekerjaan Hobbes dalam bidang sains dan metafisika terhenti pada akhir dekade 1630-an karena situasi politik. Pada tahun 1637, kekuasaan absolut Raja Charles I mulai dipersoalkan. Hobbes memperlihatkan dukungan kepada raja dengan mendedikasikan buku "Elemen-Elemen Hukum" untuk menjawab persoalan kekuasaan absolut. Kedua karya Hobbes yang berikutnya, "De Cive" dan "Leviathan", mengembangkan lebih lanjut pemikiran dalam buku tersebut, meskipun esensi ketiganya sama.
Pada tahun 1640, Hobbes mulai mempertimbangkan untuk tinggal di ParisPerancis, dengan alasan keselamatan dirinya dan untuk lebih merangsang pemikirannya. Akan tetapi, apa yang menjadi alasan langsung dari kepergian Hobbes dari Inggris menuju Perancis adalah debat yang terjadi di parlemen pada tanggal 7 November 1640. Di sana, para anti-monarki mulai menyuarakan penentangan terhadap orang-orang yang pro-monarki dan mendukung kekuasaan absolut. Karena Hobbes kuatir akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan "Elemen-Elemen Hukum", akhirnya ia pergi ke Paris. Di Paris, Hobbes dengan cepat menyatu dengan situasi intelektual di sana karena dibantu oleh rekannya Mersenne. Pada tahun 1642, Mersenne juga membatu penerbitan karya Hobbes "De Cive". Melalui buku tersebut, Hobbes mengukuhkan diri sebagai penulis dalam bidang politik yang memiliki reputasi di seluruh Eropa. Tidak lama kemudian, Mersenne juga membantu penerbitan beberapa contoh karya Hobbes dalam bidang fisika dan optik di dalam dua volume buku kompilasi pada tahun 1644. Judul dari kedua karya Hobbes tersebut adalah "Cogitata physico-mathematica" dan "Universae". Melalui Mersenne juga, Hobbes dapat berkenalan pada awal tahun 1640-an dengan para filsuf dan ilmuwan Perancis.Selama periode 1640-an, Hobbes lebih banyak memberikan perhatian kepada fisika, metafisika, dan teologi ketimbang filsafat politik. Pada tahun 1642-1643, Hobbes menulis karya yang melawan pandangan seorang filsuf Aristotelian Katolik yang bernama Thomas White. Kemudian pada tahun 1645, Hobbes berpolemik dengan seorang teolog Gereja Anglikan yang juga bernama John Bramhall mengenai hakikat kehendak bebas. Polemik yang terjadi cukup panjang dan memakan waktu yang cukup lama.Pada tahun 1646, Hobbes diminta untuk menjadi pengajar matematika bagi Pangeran Charles II, anak dari Raja Charles I. Pekerjaan tersebut membawa Hobbes berhubungan lebih intensif dengan para politisi, pejabat istana, dan pejabat-pejabat gerejawi, yang semuanya merupakan pihak-pihak yang pro-monarki. Situasi tersebut membuat Hobbes kembali memasuki bidang politik. Karya Hobbes yang berjudul "Leviathan" diterbitkan di Inggris dengan bantuan seorang temannya, pada bulan April 1651.Sepulangnya ke Inggris, Hobbes menetap di London dan kembali ke pekerjaannya dahulu, yakni menjadi pengajar di keluarga bangsawan. Nama buruk yang akan diterima Hobbes karena "Leviathan" tidak dengan segera muncul. Kebanyakan pembaca awal dari buku tersebut cukup terkejut dengan isinya tentang agama, namun tidak segera menyuarakannya. Selain kaum agamawan, grup lain yang merasa terganggu dengan buku "Leviathan" adalah kaum akademisi dari universitas-universitas. Hal itu menyebabkan Hobbes mendapat kritik dari kalangan akademisi. Salah satu akademisi yang mengkritik Hobbes adalah John Wallis. Mereka terlibat di dalam polemik dalam bidang matematika selama hampir dua puluh tahun.
Pada era 1660-an, Hobbes mendapat tekanan dari pihak agamawan karena pandangannya tentang agama. Pada awal tahun 1660-an ada rumor yang mengatakan beberapa Uskup Gereja Anglikan akan menetapkan pandangan Hobbes sebagai sesat. Selain itu, pada tahun 1666, komite Dewan Rakyat (House of Commons) didesak untuk menginvestigasi buku "Leviathan".Hobbes merespons tekanan yang muncul dengan menerbitkan tulisan-tulisan pada akhir dekade 1660-an yang secara terbuka mempertahankan dirinya dari segala kritik mengenai keimanan Hobbes. Beberapa tulisan tersebut, termasuk biografi singkat Hobbes, adalah "Mempertimbangkan Ulang Tuan Hobbes", penambahan apendiks kepada terjemahan bahasa Latin dari "Leviathan" yang mempertahankan karya tersebut dari tuduhan sesat pada tahun 1668, sebuah oto-biografi dalam bahasa Latin pada tahun 1679, dan sebuah karya tentang polemik sejarah gereja dalam bahasa Latin berjudul "Historia ecclesiastica" pada tahun 1688.Pelbagai publikasi yang dilakukan Hobbes (dengan ditambah karya-karya lain tentang matematika dan terjemahan Iliaddan Odyssey karya Homeros dalam bahasa Inggris) membuktikan produktivitas Hobbes pada usia yang semakin lanjut. Hobbes berusia 63 tahun ketika "Leviathan" diterbitkan, dan ia terus menulis hingga umur 91 tahun ketika ia meninggal. Hobbes hidup bersama keluarga Cavendish yang memberinya perlindungan dam keamanan. Kemudian saat Charles II, mantan muridnya, mendapatkan kekuasaan di Inggris, Hobbes mendapat pengampunan karena ia lari ke Inggris dan berpihak ke kubu anti-monarki.Kendati Hobbes memiliki pengikut setia di Inggris, namun ia lebih dihormati dan memiliki pengaruh di Perancis. Ia dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar yang pernah ada, dan buku "Leviathan" menjadi terkenal di sana.
Hobbes meninggal pada tanggal 4 Desember 1679. Ia mengidap sakit serius sejak bulan Oktober dan seminggu sebelum meninggal ia terkena stroke. Hobbes dimakamkan di Hault Hukcnall, dekat Hardwick Hall. Di atas batu nisannya, terdapat perkataan yang ditulis oleh Hobbes sendiri: "Dia dalah seorang ahli, dan karena reputasinya dalam banyak ilmu, ia dikenal luas baik di dalam negeri maupun luar negeri."
Hobbes dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian filsafat. Hobbes berpendapat bahwa selama ini, filsafat banyak disusupi gagasan religius. Hobbes menegaskan bahwa obyek filsafat adalah obyek-obyek lahiriah yang bergerak beserta ciri-cirinya. Menurutnya, substansi yang tak dapat berubah, seperti Allah, dan substansi yang tak dapat diraba secara empiris, seperti rohmalaikat, dan sebagainya, bukanlah obyek dari filsafat. Hobbes menyatakan bahwa filsafat harus membatasi diri pada masalah kontrol atas alam.Berdasarkan pemikiran tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di dalam filsafat, yakni:
  1. Geometri, yang merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang.
  1. Fisika, yang merupakan refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka.
  1. Etika, yang dalam pengertian Hobbes dekat dengan psikologi. Maksudnya, refleksi atas hasrat dan perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya.
  1. Politik, yang adalah refleksi atas institusi-institusi sosial.
Hobbes menyatakan bahwa keempat bidang tersebut saling berhubungan satu sama lain. Karena itulah, Hobbes berpandangan bahwa masyarakat dan manusia dapat dilihat melalui gerak dan materi dalam fisika.
Sebagai penganut empirisme, Hobbes menganggap bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman semata-mata. Tidak seperti kaum rasionalis, pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis. Pengenalan dengan akal dimulai dengan kata-kata yang menunjuk pada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya sesuai dengan kebiasaan saja. Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka, yaitu sebagai nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan nama benda pada dirinya sendiri. Pengamatan indrawi terjadi karena gerak benda-benda di luar manusia yang menyebabkan adanya rangsangan terhadap indra manusia. Rangsangan tersebut diteruskan ke otak, dan dari otak kejantung. Di dalam jantung timbullah reaksi tertentu yang merespons pengamatan tersebut.Pandangan Hobbes tentang manusia dimulai dengan pertanyaan: apa yang menggerakkan manusia? (what makes him tick?). Di sini, Hobbes membandingkan manusia dengan sebuah jam tangan yang bergerak secara teratur karena ada onderdil-onderdil di dalamnya. Hobbes memandang manusia secara mekanis belaka. Manusia adalah setumpuk material yang bekerja dan bergerak menurut hukum-hukum ilmu alam. Untuk itu, ia menyingkirkan segala macam anggapan moral-metafisik tentang manusia. Misalnya saja, pandangan bahwa manusia memiliki kodrat sosial, kebebasan, keabadian jiwa, dan sebagainya. Jiwa dan akal budi hanya dianggap sebagai bagian dari proses mekanis di dalam tubuh.Setelah mengetahui seluruh kaitan antara onderdil-onderdil dari sebuah jam tangan, maka kita dapat mengetahui prinsip kerja yang menyebabkan jam tangan itu bergerak. Kesimpulan akhir Hobbes mengenai faktor penggerak manusia adalah psikis manusia, yakni nafsu. Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa. Dari dasar pemikiran itulah Hobbes kemudian merumuskan pandangannya tentang negara yang amat terkenal.
Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan kehilangan nyawa. Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa takut mati mereka. Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.Terbentuknya negaraMenurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes). Inilah "keadaan alamiah" saat belum terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban.Status negaraNegara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat.Negara berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak. Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati. Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.Pembatasan kekuasaan negaraJikalau kekuasaan negara begitu mutlak dan tidak dapat dituntut oleh warga negara, bukankah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh negara menjadi amat besar? Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, Hobbes menyatakan dua hal.

  • Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir.
  • Kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.
PengaruhTulisan-tulisan Hobbes, khususnya "Leviathan", sangat memengaruhi seluruh filsafat politik dan filsafat moral di Inggris pada masa-masa selanjutnya. Di Eropa Daratan, Hobbes juga membawa pengaruh kuat. Salah satu filsuf besar yang dipengaruhi Hobbes adalah Baruch Spinoza. Spinoza dipengaruhi Hobbes di dalam pandangan-pandangan politik dan juga bagaimana berhubungan dengan Alkitab.
Hobbes juga merupakan salah seorang filsuf, jika bukan yang pertama, yang amat berpengaruh dalam perdebatan antara kehendak bebas dan determinisme. Selain itu, ia juga merupakan salah satu filsuf bahasa yang paling penting karena ia berpandangan bahwa bahasa bukan hanya digunakan untuk menjelaskan dunia, tetapi juga untuk menunjukkan perilaku-perilaku dan juga untuk mengikat janji dan kontrak.
Kemudian Hobbes juga berpengaruh di dalam studi kontraktarianisme. Kontraktarianisme merupakan bagian dari teori-teori moral dan politik yang menggunakan ide teori kontrak sosial. Hobbes merupakan salah satu filsuf kontrak sosial tradisional yang menggunakan ide kontrak sosial untuk menegaskan peran negara. Di sini, Hobbes merupakan pionir dari salah satu dari dua argumen moral tentang kontrak sosial yang ada. Satu jenis argumen moral tentang kontrak sosial lainnya diberikan oleh Immanuel Kant.Selain itu, Hobbes juga merupakan filsuf modern pertama di dalam bidang sensasionalisme. 
Sensasionalisme adalah pandangan yang menganggap semua keadaan mental, secara khusus kognitif manusia, beraal dari komposisi atau asosiasi-asosiasi dari sensasi atau perasaan belaka.



Sumber :

http://melinda2015.blogspot.co.id/2015/07/hakekat-manusia-menurut-thomas-hobbes.html
- https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Hobbes
- http://klaussurinka.blogspot.co.id/2010/11/perbandingan-hakikat-manusia-menurut.html
- http://www.psikologiku.com/pengertian-dan-sifat-manusia-menurut-thomas-hobbes/
- http://jurnalohjurnal.blogspot.co.id/2011/07/thomas-hobbes-dan-pemikirannya.html

Kamis, 15 Juni 2017

PEMIKIRAN SARTE

PEMIKIRAN JEAN-PAUL SARTRE DALAM “EXISTENTIALISM AND HUMANISM

Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari publik intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943). Dengan buku ini segera Sartre menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Meskipun buku ini mengorbitkan nama Sartre namun toh harus diakui bahwa tidak begitu banyak orang yang memahami pemikirannya yang memang rumit, khususnya yang berbicara tentang kesadaran. Untuk mempopulerkan idenya itu, maka tiga tahun kemudian Sartre mengeluarkan buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946). Lewat buku ini Sartre menyingkatkan pemikirannya sekaligus berupaya menanggapi sejumlah kritik yang dialamatkan kepadanya[3], khususnya dari kaum komunis dan pihak Kristen.
Buku itulah yang kini ingin kami eksplorasi dalam tulisan singkat ini. Adapun tujuan dekat dari penulisan ini adalah untuk memberikan sekelumit gambaran yang lebih terang mengenai eksistensialisme sebagaimana dimaksud Sartre dan dari situ kita bisa belajar sejumlah tema umum eksistensialisme seperti liberté (kebebasan), engagement (komitmen), angoisse (kecemasan), responsibilité (tanggungjawab), subjectivité (subjektivitas) dan bahwa ‘eksistensi mendahului esensi.’ Tujuan jauh dari tulisan ini adalah agar pembaca tergerak untuk langsung membaca dari sumber-sumber pertama dan bukan melulu tergantung dari keterangan yang diberikan dalam buku Sejarah Filsafat atau kritik atasnya. Selanjutnya diharapkan agar kita dapat menjadi kritis terhadap situasi dunia di sekeliling kita, kritis terhadap ideologi-ideologi yang bertebaran di sana-sini dan tidak lupa untuk menjadi kritis terhadap pemikiran Sartre dan terhadap diri sendiri. Tulisan akan dibagi menjadi 3 bagian pokok yang satu dengan lainnya saling berkaitan, walaupun mungkin secara longgar. Bagian pertama akan berbicara tentang eksistensialisme itu sendiri dengan keberagaman nuansanya. Dalam bagian kedua, penulis akan melihat apa yang dimaksud Sartre dengan humanisme. Pada bagian ketiga akan disampaikan sejumlah kritik atas pandangan Sartre. Mengingat keterbatasan ruang pengungkapan, tidak semua tema menarik yang dihantar oleh Sartre dalam bukunya tersebut akan penulis uraikan di sini.

PENJERNIHAN ISTILAH EKSISTENSIALISME OLEH SARTRE

Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme[4], bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya[5]. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme[6]. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois.
Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni—seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya—karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi[7]. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition[8]. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi[9] dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife).[10] Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu,  tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Singkatnya, Manusia adalah[11].
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis—-bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.

HUMANISME DALAM PANDANGAN SARTRE

Di atas sudah kita singgung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat manusia lebih luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Pandangan Humanisme yang kalau kita lacak dalam sejarah pemikiran Barat sebenarnya bertolak dari gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan Humanisme ini mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité)
dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas. Lalu, apakah Sartre sebenarnya hanya mengulangi apa yang sudah didengung-dengungkan beberapa ratus tahun sebelumnya dengan mengatakan humanisme? Apa yang baru dalam konsepsi Sartre tentang humanisme? Apa hubungannya eksistensialisme dengan humanisme?
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya[12].  Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky[13], “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.” Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is.”[14] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. I ought to commit myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang  mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi[15], Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya a human universality of condition. Tanpa bermaksud masuk ke dalam detil dari uraian ini, cukuplah dikatakan di sini bahwa human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi dan lagi selama hidupnya.
Sebagai penutup dari bagian ini, kiranya pantas diajukan argumen ketiga yang memberikan ciri pada humanisme Sartre. Berangkat dari keberatan yang diajukan pada Sartre, “nilai-nilaimu itu tidaklah serius sebab bukankah kamu sendiri yang memilih mereka,”[16] Sartre menyanggahnya demikian. Pertama, Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan penghayatan ini, engkau sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan sebagai nilai tertinggi (supreme value).[17] Bagi Sartre ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan[18]Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fascisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut humanisme karena mengignatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak[19] secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.

Sumber : https://seemart.wordpress.com/2008/06/09/pemikiran-jean-paul-sartre-dalam-%E2%80%9Cexistentialism-and-humanism/